Salah satu kampung yang terdapat di Nusa Tenggara Timur adalah kampung bena. Perkampungan ini masih sangat kuno sekali dan sudah ada sejak zaman megalitikum. Zaman ini merupakan zaman dimana manusia masih menggunakan batu untuk membantu kehidupan sehari – hari.
Mayoritas dari penduduk kampung bena ini beragama katolik karena nenek moyangnya berasal dari suku bajawa. Mereka pun mencari nafkah sehari – hari dengan berladang dan juga sebagian perempuan disana menenun.
Saat memasuki kampung, seseorang Pak Tua menyapaku.
“Darimana, Dek?”
“Dari Jakarta, Pak.”
“Mampir Dek, kerumah”
Aku mampir sebentar kerumah Pak Tua itu untuk mengobrol.
Menurut Pak Tua, desa Bena jika dilihat dari atas bentuknya seperti perahu besar. Perahu menurut kepercayaan megalitikum merupakan wahana untuk mengantarkan para arwah untuk menuju tempat tinggalnya. Lalu Pak Tua menunjuk suatu pondokan yang berada di tengah lapangan.
“Pondok itu, namanya Baga dan Ngadu, semacam tempat untuk bersemayamnya nenek moyang kami”. Aku memperhatikan bangunan itu. Terlihat seperti rumah adat dan batu yang dipayungi oleh ijuk. Sarang laba-laba ada dimana-mana, menunjukkan pondokan itu cukup tua. Hampir mirip dengan rumah yang kududuki saat ini. Dibangun dari kayu, beratapkan ijuk dan berlantai panggung. Hanya sedikit tersentuh oleh modernisasi.
Pak Tua melanjutkan kembali ceritanya.
“Dahulu kala disini belum tersentuh modernisasi. Tetapi semenjak diangkat menjadi warisan dunia dan terjadi lonjakan wisatawan, mau tidak mau modernisasi mengikuti”.
“Coba nanti kamu keliling, ada parabola disalah satu rumah untuk nonton TV.”
Aku mengangguk tanda mengerti. Bagaimanapun juga, modernisasi akan terjadi dimanapun. Sama seperti desa adat yang pernah kutemui di Sumba. Disaat modernisasi mulai menggerogoti tradisi. Dimulai dari pemuda ingusan yang mengerti smartphone, hingga para orang tua yang kecanduan menonton televisi. Semua bisa berubah dengan beberapa langkah kaki wisatawan yang datang dengan pengaruh yang berbeda-beda.
Aku tak bisa membayangkan apabila akhirnya modernitas menggerogoti tradisi hingga tak bersisa. Beberapa puluh tahun yang akan datang, bisa jadi semuanya akan berubah, tak seperti dulu.